Kamis 02 Jun 2022 04:59 WIB

Penembakan Massal yang Kesekian

FBI menyebut ada 61 insiden penebak aktif.

Senator Ted Cruz, R-Texas, paling kanan, berdoa dengan seorang pria dalam doa bersama di Uvalde, Texas, Rabu, 25 Mei 2022. Peringatan itu diadakan untuk menghormati para korban yang tewas dalam penembakan hari Selasa di Sekolah Dasar Robb.
Foto: AP/Jae C. Hong
Senator Ted Cruz, R-Texas, paling kanan, berdoa dengan seorang pria dalam doa bersama di Uvalde, Texas, Rabu, 25 Mei 2022. Peringatan itu diadakan untuk menghormati para korban yang tewas dalam penembakan hari Selasa di Sekolah Dasar Robb.

Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,Seorang pria bersenjata melancarkan tembakan di sebuah sekolah dasar di South Texas pada Selasa (24/5/2022) hingga menewaskan 19 murid dan dua guru. Penembakan terjadi di siang hari di Robb Elementary School di Kota Uvalde, Texas, sekitar 130 kilometer sebelah barat San Antonio.

Mari bayangkan sejenak. Seorang remaja yang baru menginjak usia 18 tahun bernama Salvador Ramos ke toko, memesan senjata dan amunisi, membayar lalu pergi. Yang dibelinya yakni dua senjata semi otomatis tipe AR15 dan 370 butir amunisi sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri.

Untuk diketahui, senjata yang dibelinya merupakan senjata yang seringkali digunakan pelaku penembakan massal di AS. Ramos yang merupakan satu murid SMA Uvalde dan warga AS ini melakukan hal yang legal dan dianggap biasa. Ditangannya, anak-anak SD dan guru-guru meninggal dengan tragis.

Peristiwa tersebut menambah daftar panjang penembakan massal yang terjadi di AS. Di 2022, setidaknya sudah ada dua penembakan massal yang terjadi sebelum peristiwa di Texas. Pertama, di Buffalo pada 14 Mei 2022. Kala itu, seorang pria kulit putih bersenjata membunuh 10 warga kulit hitam di sebuah pusat perbelanjaan dalam serangan yang bermotif rasisme. Pria tersebut dikenai dakwaan dan masih disekap di penjara tanpa kemungkinan mendapat pembebasan sementara dengan jaminan.

Kedua, di New York City pada 12 April 2022. Dalam salah satu serangan paling parah dalam sejarah sistem transportasi New York, 23 orang terluka ketika seorang pria berusia 62 tahun mengaktifkan sebuah bom asap serta mengeluarkan tembakan di sebuah stasiun kereta bawah tanah. Tersangka pelaku ditangkap keesokan harinya.

Sementara FBI juga melaporkan pada 2021 merupakan tahun dengan penembakan tertinggi dalam lebih dari 20 tahun terakhir. FBI menyebut ada 61 insiden penebak aktif. FBI mendefinisikan penembak aktif sebagai seseorang yang terlibat dalam pembunuhan atau mencoba membunuh orang di ruang publik dengan cara yang tampaknya acak.

Jumlah penembakan itu naik tajam dari segi jumlah serangan, korban, dan distribusi geografis sejak 2021. Total penembakan 2021 tersebar di 30 negara bagian, 52 persen lebih tinggi dari 2020. Jumlah kenaikan ini, menurut FBI, sekitar dua kali lipat masing-masing dari tiga tahun sebelumnya.

Pembantaian penembak aktif tahun lalu menewaskan 103 orang dan melukai 140 orang. Pada 2020, FBI menghitung 40 serangan penembak aktif di 19 negara bagian yang menewaskan 38 orang dan melukai 126 orang.

Sejumlah negara bagian menjadi penyumbang tertinggi insiden penembakan. Sebut saja Kalifornia yang meskipun memiliki beberapa undang-undang senjata terberat justru menyumbang lebih banyak insiden penembak aktif daripada negara bagian lain tahun lalu. Kalifornia memiliki enam dari 61 peristiwa penembakan. Setelah itu, insiden penembak aktif banyak terjadi di Texas dan Georgia dengan masing-masing lima peristiwa penembakan.

Laporan FBI juga menegaskan bahwa bisnis komersial menyumbang lebih dari setengah dari semua insiden tersebut.  Artinya, jual beli senjata memberikan kontribusi sangat besar dalam insiden penembakan massal yang terjadi di seantero AS.

Kepemilikan senjata api menjadi isu panas yang masih diperdebatkan di Amerika Serikat. Pengendalian akses senjata api menjadi salah satu masalah yang telah memecah belah antarnegara bagian.

Kubu Demokrat yang setuju dengan pembatasan akses ketersediaan senjata api, kerap berdebat dengan kubu Republik yang berpendapat bahwa senjata api bukan akar penyebab penembakan massal dan hak untuk memanggul senjata dilindungi oleh Konstitusi AS.

Presiden AS, Joe Biden mengatakan, hak konstitusional untuk memilili senjata "tidak mutlak" dan tidak pernah ada. Biden menyerukan agar ada pembatasan baru pada pembelian dan kepemilikan senjata. Hal ini mengacu pada amandemen konstitusi yang memberi hak kepada orang Amerika terkait pembelian senjata.

"Amandemen Kedua tidak mutlak. Ketika disahkan, Anda tidak dapat memiliki senjata tertentu. Ada batasan," ujar Biden.

Undang-undang tersebut merupakan bagian dari Bill of Rights 1791, yang menyatakan, "milisi yang diatur dengan baik, yang diperlukan untuk keamanan Negara yang bebas, hak rakyat untuk memiliki dan membawa senjata, tidak boleh dilanggar”. Biden juga meminta National Riffle Association (NRA) untuk memberlakukan peraturan yang lebih kuat pada industri senjata.

Namun, NRA tidak benar-benar terpengaruh dengan sejumlah penembakan massal yang terjadi setiap tahun. Sebagai gambaran, beberapa hari setelah penembakan di Texas, NRA tetap menggelar konvensi tahunan di Houston. Hal yang sama juga dilakukan NRA pada 1999 ketika penembakan penembakan mematikan terjadi di Columbine High School , Colorado dan konvensi berjalan seminggu setelah penembakan.

Padahal, secara tidak langsung, para pemimpin NRA berkontribusi pada masalah kekerasan senjata dan tidak berusaha menyelesaikannya.  NRA bisa jadi mewakili kepentingan produsen senjata, yang memasarkan senjata kepada orang dewasa muda. Toh, laporan FBI secara lugas mengatakan bisnis komersial menyumbang lebih dari setengah dari semua insiden penembakan.

Serentetan penembakan massal, puluhan korban berjatuhan dan protes yang didengungkan nyatanya tak kunjung memberikan solusi permanen soal regulasi pembatasan dan pengontrolan senjata di AS. Entah sampai kapan

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement